Sebuah keniscayaan bahwa kebutuhan pendidikan bukan hanya untuk pemenuhan peningkatan kompetensi bagi sumberdaya manusia tanpa kecuali penyandang disabilitas. Peningkatan literasi sebagai upaya peningkatan keterampilan dan pengetahuan bagi difable di tengah era digital ini menjadi krusial, karena secara nyata anak-anak difabel kian terpinggirkan karena beberapa hal. Sulit mendapat tempat di fasilitas publik, apalagi yang berbiaya mahal. Entah itu sekolah, restoran atau taman bacaan sekalipun. Anak-anak difabel atau berkebutuhan khusus seakan “tidak mendapat tempat” lagi. Itulah realitas yang terjadi. Diskriminasi, suka tidak suka, dialami anak-anak difabel baik terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.
Tapi realitas diskriminatif, harus tidak berlaku bagi pemerintah yang bertugas mendorong kualitas sumberdaya manusia sebagai asset bangsa. Sebagai bagian dari komitmen gerakan literasi untuk semua, maka pemerintah harus sigap melayani anak-anak difabel. Karena sejatinya, tidak ada alasan untuk tidak menerima anak-anak difabel. Gerakan literasi adalah bagian dari pendidikan inklusi, yang harus memberi ruang terhadap anak-anak difabel.
Perpustakaan berkonsep ramah difable merupakan salah satu akses penting bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh informasi. Selain aksesibilitas yang tersedia di dalam bangunan perpustakaan, cara penyediaan berbagai jenis bacaan juga harus sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas.
Bagi penyandang disabilitas netra, perpustakaan terakses adalah perpustakaan yang menyediakan bahan bacaan, baik buku, surat kabar, dan sumber lainnya, dalam format Braille atau digital. Beberapa perpustakaan umum sudah ada yang menyediakan ruang literasi bagi tunanetra. Namun pojok baca yang tersebar di tingkat desa, belum tentu menyediakan fasilitas yang sama.
LAyanan POjok braille (LAPOLE) dapat menjadi salah satu inovasi yang mendukung peran serta pemerintah dalam meningkatkan minat baca bagi penyandang disabilitas. Wadah ini menjadikan para penyandang disabilitas diharapkan tidak merasa sendiri. Ini menjadi bagian dari kewajiban kita untuk mempermudah rekan-rekan disabilitas dalam berkomunikasi lebih luas lagi, dan tidak merasa sendiri, ada teman. Sehingga mereka bisa mempunyai ide dan memberikan inovasi-inovasi yang kadang tidak kita pikirkan.
Kedepannya, layanan pojok braille diharapkan mempermudah sekaligus menjembatani penyandang disabilitas untuk memperoleh berbagai informasi melalui dukungan teknologi. Memunculkan konsep baru dalam tataran digitalisasi pojok braille dengan aplikasi atau wadah para penyandang disabilitas di seluruh Indonesia untuk berkarya dan mendapatkan akses informasi seperti forum digital, agenda acara, pelatihan kerja dan UMKM, hingga lowongan kerja seputar dunia disabilitas, bisa menjadi target pengembangan inovasi ini.
Jadi mari kita tinggikan harapan dan ide untuk pelayanan yang merata di seluruh lapisan Masyarakat. Jangan lupa eksekusinya yaa…, tentunya dengan sinergi berbagi macam pemangku kepentingan, baik Perangkat Daerah di Kabupaten Ngawi dan organisasi sosial yang ada di Masyarakat.
Mari Bersinergi. Salam Riset. Salam Inovasi.
Awuy_RisNov2023