Pendampingan BAPPEDA dalam kerisetan, salah satunya membersamai Badan Riset Dan Inovasi Nasional melaksanakan penelitian di wilayah Kabupaten Ngawi. Selasa, 04 September2023, BAPPEDA dan periset BRIN berdiskusi bersama dengan Bupati Ngawi, Ony Anwar Harsono, dengan tema perilaku Hominin di Pleistocene Jawa.
Sebuah kerjasama pusat riset arkeometri dengan Museum Naturalis Leiden Belanda menginisiasi sebuah riset bertajuk Bones And Stories In Situ (Basins) : Resolving Hominin Behaviour In Changing Environments On Midlle Pleistocene Java. Riset ini mengandung harapan tersimpulnya pijakan hipotesa bahwa artefak Dusun Sogen dan Selopuro di Kabupaten Ngawi dapat menunjukkan kemiripan dengan Situs Trinil. Dengan semakin banyaknya artefak yang ditemukan, menjadi indikator pendukung sebuah peradaban hominin di pulau jawa. Mengapa perilaku hominin perlu disimpulkan?
Selama beberapa tahun terakhir, kata hominin telah menjadi berita publik tentang nenek moyang manusia. Ini bukan kesalahan ejaan untuk hominid; ini mencerminkan perubahan evolusioner dalam pemahaman tentang apa artinya menjadi manusia. Namun hal ini memang membingungkan para cendekiawan dan pelajar.
Hingga tahun 1980-an, ahli paleoantropologi umumnya mengikuti sistem taksonomi yang dikembangkan oleh ilmuwan abad ke-18 Carl Linnaeus, ketika mereka berbicara tentang berbagai spesies manusia. Setelah Darwin, keluarga Hominoid yang dirancang oleh para sarjana pada pertengahan abad ke-20 mencakup dua subfamily : subfamili Hominid (manusia dan nenek moyangnya) dan subfamili Antropoid (simpanse, gorila, dan orangutan). Subfamili tersebut didasarkan pada kesamaan morfologi dan perilaku dalam kelompok : itulah yang ditawarkan data, membandingkan perbedaan kerangka.
Namun perdebatan mengenai seberapa dekat kekerabatan kerabat purba kita dengan kita memanas dalam paleontologi dan paleoantropologi : semua sarjana harus mendasarkan penafsiran tersebut pada variasi morfologi saja. Fosil purba, meskipun kita memiliki kerangka lengkap, terdiri dari banyak sekali ciri, yang sering kali dimiliki oleh seluruh spesies dan genus. Ciri-ciri manakah yang harus dianggap penting dalam menentukan keterkaitan spesies: ketebalan email gigi atau panjang lengan? Bentuk tengkorak atau kesejajaran rahang? Penggerak bipedal atau penggunaan alat?
Namun semua itu berubah ketika data baru berdasarkan perbedaan kimia yang mendasari mulai berdatangan dari laboratorium seperti Museum Naturalis Leiden Belanda. Pertama, studi molekuler pada akhir abad ke-20 menunjukkan bahwa kesamaan morfologi tidak berarti sejarah bersama. Pada tingkat genetik, manusia, simpanse, dan gorila memiliki kekerabatan yang lebih erat satu sama lain dibandingkan dengan orangutan: selain itu, manusia, simpanse, dan gorila semuanya merupakan kera Afrika; orangutan berevolusi di Asia. Belum lagi adanya Studi genetik mitokondria dan nuklir yang bisa menunjukkan bagimana nomenklatur analisis evolusi manusia.
Oleh karena itu, hasil riset yang berkaitan dengan perilaku hominin dengan penemuan artefak pendukungnya diharapkan dapat meletakkan satu milestone dalam gambaran besar evolusi manusia, khususnya di Pleistocene Jawa.
Salam Riset
Salam Inovasi
Awuy_RisNov2023