Jakarta, 5 November 2025 — Indonesia kini menghadapi paradoks besar dalam sejarah urbanisasinya. Sejak 2010, penduduk perkotaan melampaui jumlah warga desa, dan pada 2045 diprediksi mencapai 72,9%. Namun, di balik gegap gempita pembangunan, kota-kota Indonesia justru menunjukkan gejala urbanisasi tanpa kemakmuran.

Data Bappenas dan BRIN mengungkapkan fakta mencengangkan: setiap pertumbuhan 1% penduduk perkotaan hanya mampu meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita sebesar 1,4%, jauh di bawah China yang mencapai 3%. Artinya, laju urbanisasi kita belum cukup produktif — kota tumbuh pesat, tetapi kesejahteraan tertinggal.
Kota Padat, Tapi Tidak Berdaya
Kondisi terkini menunjukkan ketimpangan ruang dan ekonomi yang mengkhawatirkan. Lebih dari 77% penduduk perkotaan terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera, sementara Kalimantan, Sulawesi, dan Papua hanya menyumbang kurang dari 20% dari total kawasan perkotaan nasional. Fenomena ini memperkuat “urban sprawl” — meluasnya kawasan terbangun tanpa perencanaan matang, menciptakan kota-kota yang padat, mahal, dan tidak efisien.
Jakarta menjadi simbol krisis urban ini: overcrowding meningkat, rumah sewa menurun, dan lebih dari 70 jam waktu produktif hilang setiap tahun akibat kemacetan. Meski akses air minum layak mencapai 91,05%, jaringan perpipaan baru menjangkau 19,4% warga kota.
Kota Tanpa Nafas: Lingkungan Menurun, Bencana Meningkat
Urbanisasi juga menciptakan tekanan berat terhadap daya dukung lingkungan. Dalam kurun 2013–2019, Indonesia kehilangan 664.551 hektare lahan sawah. Kota-kota besar menjadi penyumbang utama 70% emisi CO₂, dengan sektor energi memegang porsi 34%. Bahkan, 192 kabupaten/kota kini berisiko bencana tinggi, dan Jakarta dinobatkan sebagai salah satu kota dengan udara terburuk di dunia (PM2.5 mencapai 148 µg/m³).

Fenomena Urban Heat Island (UHI) memperparah situasi — suhu kota-kota Indonesia, Malaysia, dan Filipina kini rata-rata 5,9°C lebih hangat dibandingkan wilayah sekitarnya. Di Bandung, perbedaan suhu antara kawasan terpanas dan terdingin bahkan mencapai 7°C.
KPN 2045: Peta Jalan Menuju Kota Berkelanjutan
Menjawab krisis ini, Kementerian PPN/Bappenas meluncurkan Kebijakan Perkotaan Nasional (KPN) 2045, sebuah peta jalan kolaboratif menuju “Kota Berkelanjutan 2045.”
Kebijakan ini menyoroti lima misi utama: menciptakan sistem perkotaan yang seimbang dan berkeadilan; membangun kota layak huni dan berbudaya; mendorong kota maju dan menyejahterakan; menguatkan kota hijau dan tangguh; serta mewujudkan tata kelola yang transparan, cerdas, dan terpadu.
Pelaksanaan KPN 2045 akan dipantau ketat melalui dua indikator kunci: Proporsi PDRB Perkotaan dan Indeks Kota Berkelanjutan (IKB). Berdasarkan capaian 2021–2023, skor IKB Indonesia masih berada di level “lower middle sustainability”, menandakan perjalanan panjang menuju keseimbangan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Kolaborasi: Jalan Menuju Kota Masa Depan
Menurut Dody Virgo Sinaga, Direktur Tata Ruang, Perkotaan, Pertanahan, dan Penanggulangan Bencana Bappenas, keberhasilan KPN 2045 tidak dapat berdiri sendiri. “Urbanisasi adalah tantangan sekaligus peluang. Kita perlu kolaborasi lintas sektor — pemerintah, akademisi, BRIN, dan masyarakat — untuk memastikan kota tumbuh tanpa kehilangan jiwa dan daya dukungnya,” tegasnya.

Kebijakan ini kini telah terintegrasi dalam RPJPN 2025–2045 dan RPJMN 2025–2029, memastikan arah pembangunan nasional bergerak menuju transformasi perkotaan yang inklusif, hijau, dan berdaya saing global.
Kesimpulan: Kota, Panggung Masa Depan
Urbanisasi bukan sekadar soal perpindahan penduduk, tapi tentang kualitas hidup dan daya saing bangsa. Indonesia tengah berada di persimpangan sejarah: antara menjadi negara berperadaban urban modern, atau terperangkap dalam krisis kota tanpa arah.
Dengan implementasi KPN 2045 yang berani dan kolaboratif, masa depan perkotaan Indonesia bisa berubah — dari “kota padat dan rapuh” menjadi kota tangguh, hijau, dan manusiawi.