Kemendagri Gaspol Tata Keuangan Daerah: APBD 2026 Harus Efisien, Transparan, dan Anti Boros!

Jakarta, 20 Oktober 2025 – Pemerintah pusat lewat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kembali menekan gas reformasi tata kelola keuangan daerah. Melalui Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah (Ditjen Bina Keuda), Kemendagri resmi memaparkan arah kebijakan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2026 sekaligus memulai Kick Off Meeting Indeks Pengelolaan Keuangan Daerah (IPKD) Tahun 2024.

Langkah ini bukan sekadar rutinitas tahunan, melainkan bagian dari upaya besar membangun sistem keuangan daerah yang lebih efisien, transparan, dan akuntabel, agar setiap rupiah anggaran publik benar-benar berdampak ke masyarakat.


APBD Bukan Sekadar Formalitas, tapi Cerminan Tata Kelola

Dalam paparannya, Ditjen Keuda menegaskan bahwa penyusunan APBD 2026 wajib berpegang pada prinsip-prinsip good governance: disusun sesuai kemampuan pendapatan daerah, berpihak pada kepentingan publik, dan tepat waktu.

“APBD bukan hanya urusan hitung-hitungan belanja, tapi wajah nyata tata kelola pemerintahan daerah,” tegas Ditjen Keuda dalam sesi sosialisasi.

Pedoman penyusunan APBD setiap tahun diatur oleh Menteri Dalam Negeri, sesuai amanat UU No. 23 Tahun 2014 dan PP No. 12 Tahun 2019, agar kebijakan nasional dan daerah tetap sejalan serta tidak tumpang tindih.


Batasan Ketat: Stop Boros, Prioritaskan Pelayanan Publik

Mulai tahun anggaran 2026, daerah tak lagi leluasa menyusun anggaran sesuka hati. Kemendagri menetapkan batasan wajib:

  • Minimal 20% dari total belanja daerah harus untuk pendidikan.
  • Minimal 40% untuk infrastruktur pelayanan publik.
  • Maksimal 30% untuk belanja pegawai (di luar tunjangan guru).

Tak hanya itu, dana hasil pajak daerah juga wajib digunakan secara terarah, misalnya:

  • Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan opsen PKB: minimal 10%.
  • Pajak tenaga listrik: minimal 10%.
  • Pajak rokok: minimal 50%.
  • Pajak air tanah: minimal 10%.

Aturan ini dimaksudkan agar belanja publik lebih produktif dan tak terjebak dalam rutinitas birokrasi yang menghabiskan porsi besar untuk gaji atau honorarium.


Goodbye Honorer, Selamat Datang ASN Profesional

Kemendagri juga menegaskan larangan bagi pemerintah daerah mengangkat pegawai non-ASN atau sebutan lainnya. Semua penganggaran belanja pegawai hanya diperbolehkan untuk ASN, kepala daerah/wakil kepala daerah, serta anggota DPRD.

Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN dan Surat Edaran Mendagri No. 900.1.1/227/SJ Tahun 2025 yang menegaskan reformasi total dalam struktur kepegawaian daerah.

Dengan kebijakan ini, pemerintah ingin memastikan belanja pegawai tak lagi membengkak tanpa arah dan bisa dialihkan untuk program publik yang lebih berdampak langsung.


Kinerja Keuangan Daerah: Tren Positif, Tapi PR Masih Banyak

Data Ditjen Keuda tahun 2024 menunjukkan kabar baik. Rata-rata realisasi pendapatan daerah mencapai:

  • Provinsi: 98,46%
  • Kabupaten: 97,15%
  • Kota: 95,38%

Sementara realisasi belanja daerah juga meningkat:

  • Provinsi: 92,60%
  • Kabupaten: 91,54%
  • Kota: 90,67%

Namun, sejumlah daerah masih memiliki Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) di atas 10%, yang menandakan masih lemahnya perencanaan dan keterlambatan pelaksanaan program.

“Masih banyak daerah yang belum optimal memanfaatkan anggarannya. Padahal dana itu untuk masyarakat, bukan untuk ditumpuk di kas daerah,” ujar perwakilan Ditjen Keuda.


Digitalisasi Keuangan Daerah: SIPD-RI Jadi Senjata Baru

Transformasi digital juga jadi sorotan utama. Kemendagri menetapkan Sistem Informasi Pemerintahan Daerah Republik Indonesia (SIPD-RI) sebagai aplikasi nasional resmi berdasarkan Keputusan Menkominfo Nomor 823 Tahun 2023.

SIPD-RI akan digunakan untuk semua tahap keuangan daerah—mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga pelaporan. Dengan sistem ini, publik bisa mengakses informasi keuangan daerah secara terbuka dan real-time, memperkuat akuntabilitas sekaligus menekan peluang penyimpangan.


Menuju Keuangan Daerah yang Lebih Cerdas

Melalui IPKD 2024, Ditjen Keuda menilai enam dimensi pengelolaan keuangan daerah: mulai dari perencanaan, penyerapan, hingga transparansi publik.

Langkah ini diharapkan mendorong kompetisi sehat antar daerah, sekaligus menciptakan ekosistem fiskal yang lebih cerdas dan berkelanjutan.


Pesan Akhir: Tata Kelola Keuangan = Wajah Pemerintahan

Dengan kebijakan baru APBD 2026 ini, Kemendagri menegaskan komitmennya menjadikan daerah bukan sekadar pelaksana anggaran, tapi motor pembangunan yang efisien, transparan, dan profesional.

“Ujungnya bukan sekadar WTP dari BPK, tapi kepercayaan publik. Karena tata kelola keuangan yang baik adalah wajah sesungguhnya dari pemerintahan yang berwibawa.”

Scroll to Top